Selasa, 23 Maret 2010

TIPS AGAR PACARAN TIDAK MEMBOSANKAN

Mungkin diantara temen-temen ada yang sedang mengalami kebosanan atau kejenuhan dalam hubungan, dan lagi gak punya ide mau ngapain. Nah disini coba kasih sedikit tips agar pacaran tidak membosankan, yang pernah dilakukan orang lain dengan pasangannya, semoga juga bisa jadi solusi buat yang lagi buntu.

Berikut ada beberapa tips agar pacaran tidak membosankan yang mungkin berguna dan bisa membantu temen-temen. Bukan hal yang mutlak koq buat dilakukan, hanya sedikit ‘ide’ saja.
a. Jangan terlalu sering ketemu
Frekuensi bertemu yang terlalu sering akan membuat hubungan cepat hambar. Dalam hubungan apapun yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya.

b. Kabur dari pasangan
Sesekali anda perlu ‘kabur’ dari pasangan. Maksudnya jika anda terbiasa dengan ‘melaporkan’ semua aktifitas, cobalah keluar dari kebiasaan itu.

c. Berbaur dengan temannya
Tidak ada salahnya berbaur dengan teman – teman dari pasangan anda. Jika anda sedang bosan dengan pacar, bisa dialihkan dengan teman-temannya yang dia sudah kenal.

d. Moment dadakan
Jangan terlalu lempeng dengan hubungan anda, itu sangat membosankan. Buatlah moment dadakan untuk acara sekecil apapun, karena hal tersebut akan membuat pasangan merasa tiap saat adalah moment berharga.

e. Surprise kecil
Jangan segan-segan memberikan kejutan kecil pada pasangan. Tidak harus selalu pria ke wanita, bisa sebaliknya. Karena hubungan pacaran adalah hubungan dua arah.

f. Olahraga berdua
Lepas dari rutinitas yang menguras otak dan fikiran, coba anda buat jadwal khusus berdua ke gym atau hanya sekedar jogging berdua. Bahkan bisa juga hubungan anda makin erat.

g. Mengenal keluarganya
Mengenal keluarganya tidak hanya anda yang akan memutuskan menikah. Saat pacaran juga perlu mengenal keuarga masing-masing. Sesekali berbaurlah dengan keluarganya tanpa melibatkan pasangan anda.Seperti berbelanja dengan ibunya, atau ke karaoke dengan kakaknya.

h. Ke Salon berdua
Salon bukan hanya milik wanita, pria juga wajib ke salon. Ajaklah pasangan anda saat ke salon, bukan untuk menemani atau sekedar menunggui, tapi libatkan pasangan dalam kegiatan salon anda. Seperti creambath atau perawatan tubuh lainnya.

i.Panggilan sayang
Panggilan sayang haruslah selalu ada dalam suatu hubungan. Jangan memanggil dengan kalimat ’sayang’,'cinta’, de.el.el saja, tetapi variasikan panggilan anda, agar tidak sama dengan pasangan-pasangan lain.

Semoga tips agar pacaran tidak membosankan ene berguna yah guys…..sebenernya bukan buat yang lagi pacaran ajah sih, yang udah berkeluarga juga boleh dicoba koq .Selamat mencoba…!!

Sumber: http://tipsku-tipsmu.blogspot.com

Makanan Sehat untuk Hidup Sehat

Ada beberapa cara diet yang akan mengurangi berat badan jika anda mengikuti cara yang tepat seperti yang dirancang. tapi tidak berarti semua makanan yang cocok menjadi diet adalah makanan sehat, tetapi tidak berarti Anda harus mengubah pola makanan agar sesuai dengan aturan-aturan dari diet.

Daripada khawatir tentang mengikuti cara diet, lebih baik berpikir tentang gaya hidup yang sehat sebagai gantinya. Mulailah dengan belajar memilih makanan yang baik untuk Anda.

Semakin dekat siklus makanan itu diambil dari alam, maka makanan itu semakin baik untuk Anda. Buah-buahan segar yang besar dan sayuran memiliki banyak vitamin dan mineral, rebus mereka untuk mempertahankan nilai gizi yang paling dan berhati-hati dengan saus, mereka mungkin tinggi di kalori dan lemak yang tidak baik bagi Anda.

Buah apel baik bagi tubuh, namun apel yang dijadikan pie benar-benar tidak baik untuk tubuh. Hidangkan seafood dua atau tiga kali seminggu. Ikan dan daging ayam akan lebih sehat di hidangkan dalam bentuk dipanggang daripada di goreng

biasakan minum air, susu dan 100% buah-buahan dan jus sebagai minuman utama dan batasi minuman softdrink yang manis. Jika anda bosan dengan air mineral, coba tambahkan beberapa helai lemon untuk menambahkan sentuhan rasa.

Jangan lupa untuk makan berbagai jenis makanan untuk mendapatkan seluruh vitamin dan mineral Anda harus sehat.



Sumber: www.infokulit.com

Make up merubah bentuk wajah

keindahan dari make up adalah make up dapat merubah bentuk wajah anda.

Make up tidak dapat membuat wajah yang gemuk menjadi kurus tapi dapat membuatnya terlihat lebih kurus.

Aplikasi yang benar dari pencerah wajah dan corak dapat memberikan hasil yang menakjubkan.

Untuk membantu anda, kami akan memberikan beberapa panduan dalam menggunakan make up untuk mengubah bentuk wajah anda.

Wajah yang panjang : gunakan foundation yang kehitaman pada dahi dan dagu anda dengan mengkombinasikannya dengan pencerah wajah pada bagian wajah yang lain.

Wajah yang bulat : gunakan make up yang berlawanan dari panduan sebelumnya (wajah yang panjang).

Telinga : perpanjang telinga dengan corak yang cerah dan perpendek telinga yang besar dengan corak yang hitam sampai menengah.


Sumber: www.infokulit.com

Tahukah anda kenapa sih Langsing itu lebih asyik............?!

Pernahkah anda mencoba untuk diet namun tidak berhasil hanya gara-gara lapar mata. Pengennya sih stop ngemil tapi klo pas lagi ada orang jualan bakso lewat ato yang lainnya, mulai deh mulut berair.....!He...He...He...

Nah, untuk itu bacalah tulisan ini untuk memotivasi anda terhindar dari godaan yang menggangu program diet anda. Takutlah dan.....sadarlah karena ini juga demi kebaikan anda....! Mari kita menghargai diri kita dan menghargai anugerah pemberian-NYA dengan menjaga tubuh kita sehat dan bugar.
1. Langsing = panjang umur

Suatu penelitian menunjukkan bahwa kondisi kegemukan dapat memicu produksi hormon leptin dan estrogen, yaitu hormon yang mendorong perkembangan sel-sel abnormal yang mengarah pada tumor. Dengan menurunkan berat badan, Anda akan terhindar dari beberapa jenis kanker. Menurut suatu penelitian di University of Minnesota terhadap 22.000 wanita
selama 7 tahun, wanita overweight yang berhasil menurunkan bobotnya sekitar 10-15% dari berat badannya dapat menurunkan risiko terkena kanker payudara sebanyak 21%.

Kegemukan juga dapat menyebabkan hypertensi, diabetes, jantung dan stroke karena tersumbatnya aliran darah oleh lemak dan banyaknya bubur lemak LDL di beberapa organ vital kita. Apa jadinya klo jantung, lever, ginjal & pankreas kita jebol gara-gara kegemukan, rasanya seperti hidup segan matipun tak mau.

Para peneliti dari Joslin Diabetes Center di Boston menemukan bahwa gejala diabetes berkurang ketika 24 orang yang rata-rata mengalami kelebihan 10-25 kg, kehilangan sekitar 7% dari berat badannya semula. Pada penderita diabetes, gangguan pada fungsi insulin juga dapat mengakibatkan gangguan pada metabolisme lemak (dislipidemia) . Ini dapat dilihat dari peningkatan kadar LDL (kolesterol jahat) dan trigliserida, serta penurunan kadar HDL (kolesterol baik). Keadaan ini dapat menyebabkan timbulkan PLAK di pembuluh darah (arterosklerosis) yang menyebabkan diameter pembuluh darah mengecil. Buntutnya, risiko penyakit jantung koroner dan stroke meningkat. Jika kita langsing, bisa memperpanjang hidup kita secara ilmu medis.
2. Langsing = kuat, bugar dan berenergi

Kegemukan bikin susah jalan, baru jalan 5 menit kaki udah terasa pegel dan napas ngos-ngosan. Klo dah punya cucu ato keponakan bisa-bisa gak kuat nggendong lama-lama. Bagi yang laki-laki mau kerja lembur ato olahraga malam gak bisa tahan lama, baru dicelupin eh......dah keluar capeeeeeek deeeeeh...!!!! Bayangkan jika perut anda besar kemudian menindih istri anda, apa tidak takut istri anda kena penyakit sesak napas...?

Menurut para peneliti dari Universitas Wake Forest, mereka yang memiliki ukuran lingkar pinggang dan pinggul diatas 75 cm akan mengalami penurunan kekuatan otot. Akibatnya, mereka tak lagi memiliki energi yang cukup untuk melakukan berbagai aktivitas. Ayo, turunkan berat badan sekarang supaya anda punya cukup energi untuk tampil aktif, termasuk sibuk mengurus kerjaan kantor dan kerjaan rumah tanpa terlihat loyo. Biasanya, orang langsing memang tampak lebih gesit kan ?
3. Langsing = Pede
Sering kali saya bertemu dengan orang yang mengalami kegemukan lalu kemudian saya memberikan brosur tentang info sehat dan sebagian dari mereka merasa dilecehkan padahal maksud saya adalah membantu solusi untuk untuk hidup sehat. kebanyakan orang gemuk akan mengalami rasa minder dan kurang pede yang mengakibatkan mereka bertingkah sedikit overakting menanggapi sesuatu karena segala hal yang berhubungan dengan kegemukan langsung mereka tanggapi dengan pikiran NEGATIF. Mereka sebenarnya sadar namun tidak ada motivasi yang kuat untuk bisa membuat mereka mau berubah dan mencari solusi. Hal ini sangat bertolak belakang jika kita memberi informasi tentang kecantikan / info sehat kepada orang langsing, kecenderungan dari mereka adalah tersenyum dan menanggapi dengan positif. Hal itu bisa dimaklumi karena mereka sangat PeDe dengan badan mereka, sesuatu yang tidak kita jumpai pada orang gemuk. Kesimpulannya, Kegemukan bisa membuat kita menjadi orang dengan pola pikir NEGATIF.
4. Langsing = bebas beli baju apa aja dan dimana aja...!
Ingin pakai baju yang sedikit lebih ketat, tapi malu dengan timbunan lemak perut yang tercetak di baju? Mau pakai baju longgar, nanti dibilang ketinggalan model & hamil tidak lahir-lahir. Serba salah sih...Kalau langsing, Anda nggak perlu bingung-bingung lagi. Pakai baju model apa aja , Anda tak perlu repot menyembunyikan deposit lemak di perut! yuuuukk..... Anda juga bisa beli baju dimana aja dengan ukuran normal. Klo kita langsing, lebih pede jalan-jalan di mal...yuuukk.
5. Langsing = lutut awet terjaga

Boro-boro pake sepatu cantik atau hak tinggi, kamu bisa lho kesulitan berjalan atau bergerak gara-gara gemuk. Soalnya bobot yang berlebih akan memberikan beban yang lebih besar kepada sendi lutut. Kalau dibiarkan, bisa menimbulkan radang pada sendi lutut (osteoarthritis) . Gejalanya antara lain, nyeri pada sendi lutut lalu bisa juga diikuti dengan pembengkakan.
Bila sudah parah, sendi menjadi kaku dan bisa juga kesulitan untuk berjalan.

Penelitian di Centers For Disease Control & Prevention menyebutkan bahwa peningkatan berat badan akan meningkatkan risiko radang pada sendi lutut sebesar 10-15% pada wanita dan 5-10% pada pria. Ibu-ibu usia > 60 tahun yang menderita kegemukan sangat rentan terhadap permasalahan lulut. Sebagian besar dari mereka akan mengalami kesulitan untuk bangun dari duduk dan ketika sholat.So....Langsing bisa bikin kita sholat dengan khusyu'
6. Langsing = hidup sejahtera
Kegemukan bisa mengundang penyakit. Mulai dari yang sepele seperti nyeri sendi, hingga yang kelas berat seperti : hipertensi, diabetes, serangan jantung, stroke dan beberapa jenis kanker. Jika Anda menderita penyakit tersebut, beban moralnya sangat tinggi. Selain nyusahin keluarga, biaya yang dikeluarkan untuk sembuh pun pasti banyak terkuras. So guys,... cobalah Anda ikuti saran-saran diatas tadi, turunkan berat badan Anda 5-10%, Insya Allah Anda akan menghemat pengeluaran untuk berobat selama satu tahun penuh bahkan lebih. Efeknya kitya bisa menggunakan anggaran kita untuk hal lainnya yang lebih bermanfaat terutama untuk anak-anak kita. Klo kita langsing....bisa lebih berhemat, tul gak....??
7. Langsing = napas lancar

Kelebihan lemak juga dapat menekan saluran pernafasan yang bisa menyebabkan kelainan sleep apnea, yaitu terhentinya nafas saat tidur. Gangguan seperti ini, lama kelamaan dapat menyebabkan gagal jantung dan bisa berujung pada kematian. Aaawwww..... IIhhhh Sereeeem !

Fakta tersebut juga didukung oleh sebuah studi yang dilakukan di Universitas Ottawa terhadap 50 wanita penderita obesitas. Ketika mereka mengalami penurunan bobot badan sebesar 10%, fungsi paru-parunya akan mengalami peningkatan sebesar 5% Dan ketika mereka kehilangan 25% dari bobotnya semula, kekuatan bernafasny akan meningkat 10%. So guys... ngorok itu bisa jadi karena kegemukan lhooo...
8. Langsing = hormonal jadi normal
Hal ini bisa ditandai dengan siklus haid tidak teratur, kista endometriosis, dan bahkan SULIT HAMIL ! Ini pertanda bahwa tubuh anda mempunyai ketidakseimbangan hormon. Pada wanita dewasa, ketidakseimbangan hormon biasanya terjadi karena kegemukan. Yang paling ekstrim, bisa mengakibatkan hiperandrogenisme --> suatu situasi dimana jumlah hormon androgen meningkat. Akibatnya juga, terjadi hirsutisme (tanda-tanda maskulin), seperti berjerawat, pertumbuhan bulu di wajah dan badan, dan beberapa mengalami perubahan suara menjadi lebih berat.


Sumber: www.langsingdiet.com

Sabtu, 20 Maret 2010

Hasil Pengumpulan Data: Studi 2

1.Emosi Positif

a.Senang. Emosi ini dialami anak pada saat berada dalam situasi yang menyenangkan, misalnya berada di pasar hewan, digelitik, dipeluk, berada di dalam ruangan sambil mendengarkan musik yang menenagkan (musik klasik). Di samping itu, emosi senang ditunjukkan juga oleh anak-anak autis pada benda-benda yang disukainya, misalnya benda panjang (stick) seakan-akan benda tersebut adalah stick biola atau sejenisnya, buku yang memuat gambar hewan, puzzle. Beberapa kegiatan yang disukai seperti merangkai bentuk (meronce), mewarnai (dengan crayon dengan warna tertentu yang disukai), menulis, memberhentikan mobil, menonton TV dengan jingle iklan tertentu juga seringkali menjadi stimulus yang menyenangkan bagi anak-anak autistik ini.

Emosi senang juga diperlihatkan oleh anak-anak autis pada saat mereka dipuji oleh orang tua atau guru karena berhasil melakukan tugas tertentu, dimanjakan (diperlihatkan orang tua dengan memeluk dan mencium anak), diajak bercanda, menikmati sesuatu yang sedang dikerjakan, dan merasa bebas dari sesuatu, misalnya sekolah, tugas, atau sesi terapi.

2.Emosi negatif

a.Marah. Emosi ini dialami anak-anak autistik disebabkan karena jenuh dalam belajar, dilarang melakukan kegiatan tertentu, melakukan kegitan yang tidak disukai, atau bila keinginan tidak terpenuhi. Stimulus lain yang juga menimbulkan emosi marah ini adalah terlalu banyak instruksi yang membingungkan, interupsi pada saat anak-anak autistik sedang asyik melakukan sesuatu aktivitas, dan dilarang melakukan sesuatu.
Emosi yang diungkapkan anak-anak autistik pada saat mengalami kegiatan yang tidak disukai ini seringkali sulit untuk dikategorikan. Hal ini disebabkan karena anak-anak autistik tidak dapat menyampaikan keinginan, tidak dapat memilih respon apa untuk menjawab stimulus, dan adanya proses belajar (meniru).
b.Kecewa. Emosi kecewa ini juga dialami anak-anak autsitik walaupun agak sulit untuk membedakan dengan emosi sedih. Kedua emosi ini diperlihatkan pada saat anak-anak autistik ditinggal pergi orangtua, dilarang mengerjakan sesuatu, dan keinginannya tidak dipenuhi.
c.Kangen. Sebagian besar ibu mengemukakan bahwa anak-anak mereka dapat mengalami emosi kangen pada saat ditinggal pergi oleh orangtua ke luar kota.
d.Takut. Emosi ini dialami anak karena dimarahi, berada di keramaian, dan berada di tempat gelap.
e.Kesal karena tidak menyukai sesuatu.
f.Cemas: Karena akan ditinggal orangtua, dan diperintah untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan hal yang pernah memiliki kenangan/pengalaman buruk dengannya.
g.Merasa bersalah: Karena melanggar larangan yang sudah ditetapkan, tidak menuruti perintah.
h.Sedih, menangis karena marah
Kejadian yang menjadi stimulus emosi Stimulus :
Orang lain dimarahi tepuk tangan (senang)
Berada dikolam renang menjadi takut
Berperilaku steriotip menjadi senang

Respon emosi
1.Marah
Respon emosi marah : Memukul, menonjok, berputar-putar, dan berteriak. Catatan : Anak-anak autis yang verbalnya cukup baik kalau marah memunculkan kemarahan yang berlebihan.
2.Senang
Respon emosi senang: berteriak hore, dan mencium benda yang disukai. Catatan : Bisa merasakan senang, ada yang menarik dia senang berteriak hore. Bercerita lewat gambar, misalnya saat menggambar mereka dapat mengungkapkan lewat cara masing-masing.
3.Takut
Respon emosi takut: Mogok melakukan kegiatan, menangis, menjauh, dan berperilaku steriotip.

Catatan : Sedih atau kecewa susah dibedakan, tergantung sebabnya (sebelumnya ada persoalan apa). Salah satu orangtua anak autis (bu Eti) tidak yakin anak autis dapat merasakan sedih karena anak autis tidak begitu memahami prinsip sebab akibat. Emosi yang lebih sering muncul adalah marah dan kecewa.

Respon emosi 1.Kecewa - Respon : Murung, tidak mau makan, melempar-lempar piring, wajah melas, nangis sambil menyanyi tapi sedih banget, ekspresi bingung, teriak-teriak, diam, tidak mau melakukan apapun walaupun dijanjikan reward, tidak mau belajar. 2.Cemas - Respon : Diare, muntah, murung, diam, keringat dingin, lari menjauh.

3.Senang
- Respon : Senyum-senyum, mengeluarkan bunyi-bunyi, bergumam, menyanyi, membelai, mengelus, memeluk, mencium.
4.Takut
- Respon : Mengkeret, wajahnya mengerut, berteriak-teriak.
5.Marah
- Respon : Gregetan seperti mau melawan, berteriak ”tidak!”, menyakiti diri sendiri, menangis.
6.Kesal
- Respon : Menggigit, menjambak, membanting barang ke lantai, mengangkat barang dengan satu tangan.
7.Merasa bersalah
- Respon : Berteriak ”tidak” sambil membuang coklat kemudian merayu terapis, berdiri spontan kemudian memeluk guru sambil bertanya apakah si guru marah.
8.Kangen
- Respon : Menangis sampai sesak.

9.Sedih - Respon : Murung, tidak mau makan, melempar-lempar piring.



Sumber: Neila Ramdhani
Retty Thiomina
Bambang Nur Prastowo
Sri Suning Kusumawardhani

Hasil Pengumpulan Data: Studi 1

Hasil Pengumpulan Data
Studi 1

1.Sumber Stimulus dan Tindakan yang Merefleksikan Emosi pada Anak Autis
a.Emosi Positif Berdasarkan hasil penelitian didapatkan empat macam emosi positif yang terlihat dari tindakan-tindakan emosional anak autis dalam merespon stimulus tertentu. Emosi tersebut adalah senang, sayang, rindu, dan malu.

1.Senang, sumber stimulus yang menjadi penyebab emosi ini adalah benda/objek, situasi, dan interaksi dengan manusia. Dari ketiga sumber stimulus di atas benda/objek dan situasi/kegiatan adalah stimulus yang cenderung menjadi penyebab emosi ini. Suatu stimulus lain yang memunculkan tindakan yang merefleksikan emosi senang adalah pada saat kedua subjek sedang sendirian dan pada saat diet makan tidak dipertahankan. Respon dari stimulus ini adalah tersenyum, tertawa, bergerak (berjalan mondar-mandir, meloncat, bertepuk tangan, berlari kesana-kemari, bergaya), mendekati sumber stimulus, mengambil benda dengan tangan sendiri atau menggunakan tangan orang lain, melihat dalam waktu lama, mengulangi melakukan kegiatan yang menyenangkan, mengutak-atik benda yang diminati, menutup telinga, dan bersenandung.

2.Sayang, berdasarkan data yang didapatkan sumber stimulus yang menjadi penyebab emosi ini muncul adalah orang dan benda. Kedua subjek menunjukkan rasa sayangnya kepada orang-orang terdekat mereka seperti ibu, terapis, dan pendamping. Terhadap benda, subjek pertama memperlihatkan rasa sayangnya pada boneka. Perasaan sayang yang ditunjukkan oleh orang lain kepada kedua subjekpun dapat diterima subjek. Tetapi bila stimulus rasa sayang itu berlebihan atau dirasa menganggu maka mereka akan menjadi marah dan menjadi tidak ingin disentuh. Respon dari stimulus ini adalah; mencium, memeluk, tersenyum, tertawa, memegang tangan, mendekati, mengajak main, bergerak (mondar-mandir, bergaya) di dekat orang yang disayang, dan melirik orang yang disayang. Terhadap benda yang disayangi tindakan subjek adalah; memeluk, mencium, boneka disisir, dibawa kemana pergi, dan bila tidak berada di tempatnya akan dicari sampai ketemu. Subjek pertama juga memperlihatkan respon membujuk orang yang memarahinya dengan cara memeluk dan mencium ketika orang tersebut memarahinya. Orang tersebut adalah orang-orang terdekatnya, seperti ibu, nenek, kakak perempuan, dan terapis.

3.Rindu, masing-masing subjek tinggal terpisah dengan orang tua. Ibu hanya mengunjungi subjek pada jadwal-jadwal tertentu. Emosi ini muncul berhubungan dengan dengan kehadiran ibu. Respon dari stimulus ini adalah; menangis diam-diam di tempat tidur, memanggil-manggil ibu, dan melamun. Ketika ibu hadir baik secara fisik maka subjek akan memeluk. Walupun pada kasus pertama, subjek biasanya perlu waktu untuk terbiasa dengan kehadiran ibu. Namun apabila berhubungan melalui pesawat telepon subjek pertama akan terlihat gembira dan mengajak ibu bernyanyi.

4.Malu, sama halnya dengan emosi rindu, perasaan malu tidak banyak diungkap pada literatur-literatur mengenai emosi pada anak autis. Namun apabila dibandingkan dengan respon anak normal terhadap emosi malu dapat dilihat bahwa emosi malu dimiliki oleh anak autis. Sumber stimulus adalah manusia, seperti terlihat pada saat ada orang yang memberi perhatian terhadap subjek maka akan muncul respon; tertawa, tersenyum memalingkan wajah, menunduk, mengalihkan pandangan, memegang orang lain, menjauh, berlari mondar-mandir, dan meloncat-loncat.

b.Emosi Negatif

1.Marah, sumber stimulus yang menjadi penyebab emosi ini adalah manusia dan situasi tertentu. Stimulus yang bersumber dari manusia yang memunculkan emosi ini adalah pada saat subjek dilarang melakukan kegiatan yang diinginkan, disuruh melakukan hal yang tidak disukai, hak milik dilanggar, dan tindakan/ucapan diralat orang lain. Stimulus yang memunculkan emosi marah yang terlihat pada subjek pertama tetapi tidak terlihat pada subjek kedua adalah diabaikan saat marah, saat subjek tidak menyelesaikan latihannya, dan dipeluk/digendong/dicium pada saat sedang melakukan kegiatan tertentu.. Selain itu stimulus berupa situasi yang menjadi pemicu emosi marah adalah pada saat ada keinginan atau kebutuhan subjek tidak terpenuhi. Kadang kala keinginan tersebut tidak mungkin terpenuhi, seperti ingin menghidupkan televisi pada saat listrik padam. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kadang kala penyebab kemarahan tidak jelas. Respon yang terlihat menyertai stimulus di atas yang menunjukkan emosi marah adalah; merengek, menjerit, berontak, tetap berusaha melakukan, penolakan verbal, menghindar, menendang dan mendorong, menarik orang, memelintir dan menggigit jari orang, membanting benda di dekatnya, mengejar orang, menangis, menghentakkan kaki, menepuk-nepuk tangan, dan berjalan mondar-mandir. Subjek pertama memunculkan tindakan seperti tidak ingin di dekati dan mendekati orang yang tidak mempedulikannya pada hari sebelumnya. Peneliti tidak melihat respon berupa temper tantrum, seperti menyakiti badan sendiri dan orang lain yang berlebihan terhadap stimulus yang memiliki muatan emosi marah selama penelitian berlangsung. Walupun kedua subjek memiliki riwayat tantrum yang sama sebelum penelitian berlangsung, seperti membanting badan, tidur di lantai, membenturkan kepala, memukul badan sendiri, mencubit, memelintir, memukul orang disekitarnya.

2.Takut, sumber stimulus yang menjadi penyebab munculnya emosi takut pada anak autis adalah manusia dan situasi/kegiatan tertentu. Sumber stimulus dari manusia seperti, dimarahi/dipukul, bertemu dengan orang yang pernah memarahi/memukul mereka dapat menjadi stimulus munculnya emosi ini. Stimulus seperti kepekaan berlebihan terhadap rangsangan, kegelapan, kesendirian, berada pada situasi yang dianggap menakutkan oleh mereka adalah termasuk sumber stimulus yang berasal dari situasi/kegiatan. Respon berupa tindakan yang memperlihatkan emosi takut adalah; menjerit lirih, berpaling dari orang yang memarahi (mencari perlindungan), menutup telinga, menarik orang yang berada di dekatnya, berontak, menghindar (menjauh), menggunakan tangan orang lain, menunduk, berjalan tergesa-gesa, berpegangan erat pada orang di dekatnya, menahan tubuh, menangis, dan memeluk orang lain, memukul meja.

3.Sedih, dalam kelompok emosi negatif emosi ini belum banyak dibahas pada literatur mengenai emosi anak autis. Namun berdasarkan hasil pengamatan peneliti menemukan bahwa kedua subjek dapat mengekspresikan perasaan sedih. Perasaan sedih muncul berkaitan dengan sosok ibu, apabila ibu belum datang mengunjungi maka mereka memperlihatkan perilaku seperti; melamun, menangis dalam diam, dan memanggil-manggil ibunya.

4.Terkejut, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) terkejut merupakan emosi yang disebabkab kejadian yang datang secara tiba-tiba. Secara fisiologis orang yang terkejut anggota badannya akan menjadi kaku, sedangkan tindakan yang biasanya menyertainya adalah berlarian kesana-kemari. Berdasarkan hasil penelitian ini, emosi terkejut muncul pada saat kedua subjek ketahuan oleh orang lain sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan, seperti; makan makanan pantang dan mengambil barang tertentu. Kedua subjek dikagetkan oleh orang yang memergoki mereka sehingga mereka meresponnya dengan meletakkan benda yang diambil atau meninggalkan kegiatan yang dilarang, dan cepat-cepat menjauh.



Sumber: Neila Ramdhani
Retty Thiomina
Bambang Nur Prastowo
Sri Suning Kusumawardhani

Metode Penelitian

Metode Penelitian

1.Subjek penelitian
Subjek penelitian pada studi 1 terdiri dari 2 (dua) orang anak berusia 8 (delapan) tahun, jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Kedua subjek mendapatkan terapi dari sekolah autis setelah didagnosis dokter mengalami gangguan autisme. Subjek penelitian pada studi 2 adalah 14 (empat belas) orang dewasa, 2 laki-laki dan 12 perempuan. Empat orang diantara mereka adalah orang tua anak-anak dengan autistik, 9 orang guru atau terapis dari lembaga pendidikan untuk anak-anak dengan autuistik, dan seorang kakak dari seorang anak autis.
2.Metode Pengumpulan Data
Metode yang diterapkan dalam pengambilan data pada studi 1 adalah observasi semi partisipatif dan wawancara semi terstruktur. Teknik pencatatan observasi dengan menggunakan paper and pencil gabungan dari running records dan spicemen description. Alat rekam audiovisual juga digunakan peneliti dalam observasi sebagai alat pencatatan pendukung. Teknik pencatatan wawancara menggunakan tape recorder. Dalam studi 1 ini observasi difokuskan kepada situasi, stimulus, dan reaksi emosi, dan aktivitas subjek pada waktu tertentu.

Pada studi 2, dilakukan dua diskusi kelompok terarah terhadap 14 orang partisipan. Kelompok pertama 6 orang, terdiri dari 5 orang guru sekolah khusus untuk anak-anak dengan autistik dan seorang ibu dari anak autis. Kelompok 2 terdiri dari 8 orang, mereka adalah 3 orang guru, seorang terapis, 3 orang tua, dan seorang kakak anak autis. Data diskusi direkam dengan audio tape di samping pencatatan langsung dengan komputer. Dalam studi 2 ini, data yang dikumpulkan adalah pernyataan orang-orang dewasa yang berhubungan langsung dengan anak-anak autistik, mengenai reaksi emosi yang dapat dikenali anak-anak autistik, stimulus dan situasi yang menimbulkan reaksi emosi tersebut, dan reaksi emosi yang dapat diekspresikan anak-anak autistik.


Sumber: Neila Ramdhani
Retty Thiomina
Bambang Nur Prastowo
Sri Suning Kusumawardhani

Emosi & Autism

Emosi merupakan respon individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif (Ekman, 1999). Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf manusia sering dikaitkan dengan emosi ini (Kotter, et.al., 1997) sehingga gangguan pada sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi. Moetrasi (dalam Azwandi, 2005) memberikan contoh reaksi mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut adalah contoh reaksi emosi yang berujud perilaku sebagai akibat gangguan sistem limbik ini.

Bidang fungsional dari syaraf pusat yang juga berpengaruh adalah pemrosesan sensorik. Individu yang mengalami gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat (Greenspan dan Weider, 2006).

Penelitian-penelitian berkaitan dengan aspek emosi individu dengan autistik ini sudah banyak dilakukan (Schultz, 2005). Temuan-temuan sebelumnya memperlihatkan adanya indikasi kelemahan penyandang autis untuk mengenali kandungan emosi dari stimulus yang dihadapi. Bahon-Cohen et al (dalam Castelli, 2005) yang menemukan kelemahan yang spesifik pada pengenalan ekspresi terkejut (belief-based expression) dibanding emosi senang dan sedih (reality-based expression). Castelli menambahkan bahwa anak dengan autistik mengalami kesulitan dalam mengenali emosi orang lain sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan emosinya, apalagi melakukan kontak emosi dengan orang lain.

Hasil yang berkebalikan dilaporkan oleh Castelli (2005) dalam penelitiannya yang lain. Ia menemukan juga bahwa anak dengan autistik dapat mengenali emosi dasar (Happines, Anger, Sadness, Surprise, Fear, Disgust) melalui ekspresi wajah, tidak hanya pada saat mencocokkan gambar ekspresi wajah, tetapi juga saat memberikan nama pada masing-masing ekspresi wajah tersebut.

Beberapa stimulus yang mengundang respon bagi anak-anak autistik dapat berupa benda maupun peristiwa. Namun, adanya gangguan pemrosesan pada anak autistik dapat mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan. Dalam beberapa penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi adalah benda-benda yang ada di dalam kehidupan mereka sehari-hari (Greenspan dan Wieder, 2006). Ditemukan bahwa benda-benda lebih banyak direspon daripada orang-orang yang ada di dalam kehidupannya (Peeters, 2004), respon anak autis terhadap benda-benda tampak pada keinginannya untuk mengambil dan membawa benda tersebut kemana mereka pergi. Apabila mereka dipisahkan dari benda-benda tersebut maka akan terjadi penolakan dan marah. Selain marah, anak-anak dengan autistik biasa juga melampiaskan dengan cara menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri (Azwandi, 2005).



Sumber: Neila Ramdhani
Retty Thiomina
Bambang Nur Prastowo
Sri Suning Kusumawardhani

Autism: Simtom dan Penyebabnya

Diagnostic Statistical Manual IV (DSM-IV) mengelompokkan autistik kedalam Autism Spectrum Disorder (ASD). Individu dengan autistik mengalami gangguan kapasitas pemahaman sosial, yang biasanya diikuti dengan adanya kesulitan dalam berkomunikasi dan memroses informasi yang ditangkap oleh alat indera (Siegel, 2003). Hambatan ini menjadikan individu dengan autistik, menyandang simtom objektif, dimana simtom yang dialami hanya dapat diamati oleh orang lain saja (Tilton, 2004). Simtom objektif ini berbeda dengan penderita gangguan psikologis yang umumnya mengalami simtom subjektif dimana individu dapat mengalami dan merasakan hambatan yang dialami. Di Amerika Serikat anak autistik ini tidak disebut dengan penderita atau mengalami autistik tetapi mereka lazim disebut individu dengan autistik (pada anak disebut children with autism). Tiga simtom utama yang dapat dijadikan pedoman dalam mendiagnosis ASD ini adalah hambatan dalam hubungan sosial, komunikasi sosial, dan kemampuan berpikir imakinatif (Sicile-Kira, 2004).

Apakah penyebab autism masih belum diketahui dengan pasti. Pada awalnya, beberapa buku sempat mengemukakan pengasuhan ibu yang kurang hangat sebagai penyebab utama sehingga menyebabkan anak-anak autis ini menarik diri dan sibuk dengan dunianya sendiri (Stacey, 2003). Teori Refrigerator Mother yang dikembangkan oleh Bruno Bettelheim (dalam Jacobsen, 2004) mengemukakan bahwa autistik disebabkan oleh pengasuhan ibu yang kurang hangat. Teori ini sangat populer pada akhir tahun 50-an hingga pada akhirnya agak melemah gaungnya seiring dengan terbitnya buku Bernard Rimland pada tahun 1964 (dalam Ginanjar, 2007) yang memaparkan tentang adanya gangguan susunan saraf pusat pada anak-anak dengan autistik. Tiga lokasi yang diduga berbeda polanya dibandingkan dengan anak normal adalah sirkuit batang otak-serebrum, sistem limbik, dan sirkuit korteks serebri (Minshew, dalam Schopler & Mesibov, 1992). Kondisi inilah yang disinyalir berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi, dan interaksi sosial.

Merespon tidak konsistennya hasil riset mengenai penyebab ASD ini, Peeters (2004) mengemukakan bahwa autistik merupakan gangguan dengan penyebab multifaktor, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah berbagai kondisi yang mempengaruhi dan mengganggu proses perkembangan otak, baik itu terjadi sebelum, selama maupun setelah bayi lahir.


Sumber: Neila Ramdhani
Retty Thiomina
Bambang Nur Prastowo
Sri Suning Kusumawardhani

AUTIS PADA ORANG DEWASA

ternyata autis itu bukan hanya terjadi pada anak-anak tapi juga pada orang dewasa terutama yang sudah akil baligh, penyebabnya adalah suatu virus yang sangat ganas so hati-hati deh ma virus ini, Virus ini dikenal dengan nama Virus Merah Jambu (PINKY VIRUS) yang kemudian menimbulkan penyakit yang disebut Penyakit Malarindu Tropikangenis, dan pada effek berikutnya mengakibatkan Autisme pada orang dewasa

Autis pada orang dewasa penyerangannya bisa sangat mendadak dan tak kenal waktu sifatnya tidak permanen alias kambuhan, Ga percaya?????, nie ciri2nya:

Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari, sulit banget diajak bicara kalaupun akhirnya ngomong kosakatanya sangat terbatas misalnya ” dia lucu banget ya…..” ” gw tergila-gila”…”gw mau ketemu dia bla…bla…bla….
Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata misalnya “kangen….kangen….kangen”, ” dia.. dia..dia…”
Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar, ini terjadi karena abis berantem or gagal ketemuan hingga matanya sayu dan sendu
Tidak suka/tidak bisa/tidak mau melihat mata orang lain..coz cinta itu buta kan!!! seperti kata Tiffany tuh ” If Love Is Blind”
Hanya suka akan mainannya sendiri, yes, Boys are toys or Girls are toys
Sibuk dengan dunianya sendiri, hmm yang kena virus ini dunia memang serasa milik berdua yang lain dianggap ngontrak aja deh
Tidak suka berbicara dengan orang lain, iya dia lebih suka ngomong sendiri di kamar terutama malam-malam apalagi kalau penyakit Malarindu Tropikangenis-nya sedang kumat banget, wah bisa gawat tuh.
Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain, itu karena kebetulan penderita ga kerja di taman lawang
Begitulah hasil penelitian dari Dokter Cinta dari Universitas Asmara, dan ternyata tambahannya lagi, autis yang menyerang orang dewasa ini bisa menimbulkan penyimpangan perilaku yang bisa sangat sangat menyebalkan buat orang-orang disekitarnya karena penderita biasanya out of control or out of reach, bahkan out of mind dan out out yang lainnya



Sumber: SENYAWA

Autisme dan Masa Depan

Meski memiliki gangguan dalam perkembangan otak serta pergaulan, bukan berarti penderita Autis mutlak tidak memiliki masa depan. Kesempatan untuk sembuh total dan memperoleh pendidikan yang sama, selalu dimiliki oleh penderita autis. Namun semua itu memang dibutuhkan suatu tahapan, atau harus melalui layanan pendidikan khusus.

Layanan yang dimaksud adalah layanan pendidikan awal yang terdiri dari Program Terapi Intervensi Dini dan Program Terapi Penunjang, untuk kemudian berlanjut ke kelas transisi. Di kelas inilah nantinya kemampuan, potensi, dan minat anak akan digali dan dikembangkan. Kelas ini juga dapat menjadi persiapan untuk mengikuti pendidikan di SD Reguler nantinya.
Untuk dapat mengikuti sekolah reguler ini juga memiliki persyaratan terlebih dahulu. Diantaranya adalah anak autis tersebut sudah memuiliki kemampuan untuk berkomunikasi sevara verbal dan juga dapat melakukan kontak mata. Hingga akhirnya anak autis dapat mengikuti kelas umum bersama guru umum yang tentunya sudah diberikan pelatihan.

Untuk anak autis yang masih memiliki tingkatan yang tinggi, tidak menutup kemungkinan mereka akan didampingi oleh seorang therapist, atau biasa disebut shadow teacher (Guru Bayangan).



Sumber: BOLEH.COM

Penanganan Autisme

Sebagai warga negara Indonesia, meski belum ada data terbaru mengenai penderita gangguan autis, kita patut berbangga karena penanganan penderita gangguan Autis mendapat perhatian serius dari pemerintah. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari pun berjanji untuk membentuk Therapy Center Autis. Pemerintah juga merencanakan untuk meluncurkan berbagai paket berupa buku, VCD, poster dan checklist pendeteksi dini autisme.

Terapis sekaligus psikolog, Tri Gunatri OTR, S.Psi yang dipercaya menukis paket-paket tersebut merencanakan untuk menyebarluaskannya ke seluruh pelosok Indonesia. Selain itu, berbagai tempat dan website juga banyak yang memberikan layanan untuk mempelajari tentang autisme.


Sebut saja Rehabilitasi Medis FKUI, atau Yayasan Autisme Indonesia di bilangan Cipinang Kebembem I. Atau lembaga yang dimiliki oleh pihak asing seperti London School of Public Relations, The Centre for Autism Awareness.


Sumber: BOLEH.COM

Mendeteksi Sejak Dini Gangguan Autisme

Autisme sendiri terbagai ke dalam tiga bagian, yaitu sangat ringan (mild), sedang (moderate), serta parah (severe). Ketiga kondisi ini kerap menyulitkan orang tua untuk menyadari seluruh keberadaannya.

Hans Asperger dan Leo Kanner adalah dua orang yang memelopori penelitian mengenai autisme. Dan seiring berjalannya waktu, banyak ilmuwan di dunia yang juga berusaha menemukan penyebab dari gangguan autisme itu sendiri.

Di Amerika, sejak tahun 1997 terdapat program yang dinamakan Autism Genetic Research Exchange yang mengumpulkan data genetis terbesar di Amerika untuk mempelajari Autisme. Dan selama ini, tujuan dari penelitian tersebut ini masih berada dalam usaha untuk mengidentifikasi anak-anak yang memiliki risiko Autisme.

Selain itu, Mel Rutherford, seorang profesor psikologi dari Faculty of Science, McMaster University juga melakukan penelitian terhadap anak yang mengalami gangguan perkembangan otak. Rutherford menggunakan Eye Tracker Technology yang dapat mengukur arah gerakan mata bayi untuk mendeteksi gejala-gejala autsime.

Sementara itu, Profesor Florence Levy dari UNSW, School of Psychiatry melakukan penelitian terhadap otak yang dinilai dapat memberikan penjelasan yang dapat membantu teori psikologis seperti Theory of Mind dalam mempelajari autisme. Semua penelitian ini diharapkan dapat membuat para dokter dan psikiater mampu mendeteksi kondisi-kondisi autisme pada tahap terdini.

Meski begitu, ada referensi baku yang digunakan secara umum dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak penderita autis, yang termasuk dalam ICD (International Classification of Diseases) revisi ke-10 tahun 1993, dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang kedua isinya sama.

Namun secara khusus, autisme bisa diketahui jika ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu Interaksi Sosial, Komunikasi, serta Perilaku.



Sumber: BOLEH.COM

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.

Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.



Sumber: Wikipedia

Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.



Sumber: Wikipedia

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:

Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
2000s Litigation, school-based services


Sumber: Wikipedia

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.

Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.



Sumber: Wikipedia

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
Chromosome 7 – speech / language chromosome
Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?



Sumber: Wikipedia

Gejala anak autis

Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.

Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.



Sumber: Wikipedia

diagnosa anak autis

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.



Sumber: Wikipedia

Gejala autisme

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.



Sumber: Wikipedia

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):

Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
Kesulitan bermain dengan teman sebaya
Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah


B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social


C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda



Sumber: Wikipedia

Autisme dalam DSM R-IV

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.


Sumber: Wikipedia

Apa yang sebaiknya anda lakukan?

Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter anda jika mencurigai adanya satu atau lebih gejala di atas pada anak anda. Tetapi jangan juga cepat – cepat mennyatakan anak anda sebagai penderita autisme.

Diagnosis akhir dan evaluasi keadaan anak sebaiknya ditangani oleh suatu tim dokter yang berpengalaman , terdiri dari ; dokter anak , ahli saraf anak, psikolog, ahli perkembangan anak, psikiater anak, ahli terapi wicara.

Tim tersebut bertanggung jawab dalam menegakan diagnosis dan memberi arahan mengenai kebutuhan unik dari masing – masing anak , termasuk bantuan interaksi sosial , bermain, perilaku dan komunikasi .

Sumber: Dr. Suriviana- www.infoibu.com

gejala pada autisme mencakup ganggguan pada:

1. gangguan pada bidang komunikasi verbal dan non verbal

• Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
• Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut sebagai bahasa planet
• Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
• Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
• Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian , nada , maupun kata – katanya tanpa mengerti artinya
• Kadang bicara monoton seperti robot
• Mimik muka datar
• Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat

2. gangguan pada bidang interaksi sosial

• Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
• anak mengalami ketulian
• Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
• Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
• Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
• Bila didekati untuk bermain justru menjauh
• Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
• Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
• Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang tuanya


3. gangguan pada bidang perilaku dan bermain

• Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang – ulang sampai berjam – jam
• Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
• Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu lama)atau sesuatu yang berputar
• Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
• Sering memperhatikan jari – jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak
• Perilaku ritualistik sering terjadi
• Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat – lompat, berputar – putar, memukul benda berulang – ulang
• Dapat juga anak terlalu diam


4.gangguan pada bidang perasaan dan emosi

• Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya
• Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
• Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum) , terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif


5. gangguan dalam persepsi sensoris

• Mencium – cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
• Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
• Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan
• Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu



Sumber: Dr.suriviana

Mengenali Anak Autisme

Sering timbul kekuatiran jika anak kita terlambat bicara atau bertingkah laku tidak lazim , apakah anak menderita autisme. Kata autisme saat ini sering kali diperbincangkan , angka kejadian di seluruh dunia terus meningkat. Banyak penyandang autisme terutama yang ringan masih tidak terdeteksi dan bahkan sering mendapatkan diagnosa yang salah , atau bahkan terjadi overdiagnosis . hal tersebut tentu saja sangat merugikan anak.

Apakah autisme itu ?
Kelainan perkembangan yang luas dan berat, dan mempengaruhi anak secara mendalam. Gangguan tersebut mencakup bidang interaksi sosial , komunikasi , dan perilaku.

Kapan deteksi dini autisme pada anak ?
Gejala autisme mulai tampak pada anak sebelum mencapai usia 3 tahun , secara umum gejala paling jelas terlihat antara umur 2 – 5 tahun.
Pada beberapa kasus aneh gejala terlihat pada masa sekolah.

Berdasarkan penelitian lebih banyak didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Beberapa tes untuk mendeteksi dini kecurigaan autisme hanya dapat dilakukan pada bayi berumur 18 bulan ke atas.

Waspadai gejala – gejala autisme

Gejala autisme berbeda – beda dalam kuantitas dan kualitas ,penyandang autisme infantil klasik mungkin memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat , tetapi kelainan ringan hanya memperlihatkan sebagian gejala saja.

Kesulitan yang timbul, sebagian dari gejala tersebut dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda.


Sumber: Dr.suriviana

jenis makanan untuk anak autis

Pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu. Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan, terutama makanan yang mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung)


Karena kedua jenis protein tersebut sulit dicerna, maka akan menimbulkan gangguan fungsi otak apabila mengonsumsi kedua jenis protein ini. Sehingga perilaku penderita autis akan menjadi lebih hiperaktif.


Menurut Fatimah Syarief, AMG, StiP , suplemen yang baik diperlukan penderita autis yang biasanya mengalami lactose intolerance (ketidakmampuan pencernaan untuk mencerna laktosa). Salah satu suplemen yang baik diberikan bagi penderita autis adalah sinbiotik.


"Sinbiotik yaitu gabungan probiotik dan prebiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang dimakan untuk memperbaiki secara menguntungkan keseimbangan mikroflora usus," kata dia.


Anak autis, sambungnya, memerlukan vitamin C sebagai antioksidan. Adapun sumber terbaik yang dapat diberikan pada anak dengan kasus ini dapat berasal dari sayuran dan buah-buahan. Meski demikian, sebaiknya pilih sayuran dan buah-buahan yang tidak mengandung pengawet.


Ditambahkan Fatimah, beberapa spesies yang biasa digunakan antara lain mengandung Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, Bifidobacterium bifidum, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium longum, dan Streptococcus lactis. Sementara itu, prebiotik adalah substansi makanan yang dapat meningkatkan beberapa bakteri usus yang menguntungkan bagi kesehatan.



Sumber: DechaCare.com
Fatimah Syarief, AMG, StiP

ciri-ciri anak autis

Autisme adalah suatu gangguan yang ditandai oleh melemahnya kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara. Autisme sering disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Penyakit autis memiliki gejala-gejala yang kemudian dapat membantu diagnosis dokter yang dapat dilihat dari perilaku para penderitanya,antara lain:
anak autis memiliki gangguan komunikasi yang lemah. Artinya, tidak bisa berbicara atau memiliki keterlambatan bicara pada usia seharusnya. Kadang kesalahan yang terjadi diakibatkan kurang tahunya orangtua akan penyakit ini. Sehingga menganggap biasa anak yang telat bicara.
Ciri lain yang dapat dilihat ialah anak memiliki gangguan interaksi sosial. Dengan kondisi demikian, anak sulit untuk diajak berkomunikasi. Tak hanya itu saja, lanjutnya, anak autis juga memiliki gangguan perilaku.
Ciri khas lainnya dari gejala autis ialah anak sering melakukan kegiatan yang berulang. Seperti mukul-mukul sendiri atau suka memutar diri sendiri yang dilakukan berulang kali.


Sumber: DechaCare.com